Sukabumi, - Artikel (konseptual) ini bertujuan untuk memberikan pandangan (insight) tentang titik kritis dalam pengelolaan keuangan desa. Hal ini penting dituliskan mengingat bahwa Undang Undang No.6 tahun 2014 tentang Desa menghadirkan paradigma baru dalam proses pembangunan desa. Berdasarkan pembacaan atas realitas yang ada, juga penelusuran terhadap beberapa aktor pelaku pengelola (keuangan) desa, tulisan ini menyimpulkan bahwa persoalan krusial yang penting untuk diwaspadai atas pengelolaan keuangan desa bertumpu setidaknya atas tiga hal:
pertama, masih terpatrinya mind set lama tentang pengelolaan keuangan desa, khususnya fungsi’ kepala desa sebagai sebagai “raja kecil”;
kedua, masih lemahnya kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki oleh perangkat Desa yang bisa mengakibatkan pelaksanaan fungsi pengelolaan dikhawatirkan jatuh pada beberapa kesalahan atau pelanggaran fungsi atas uang yang dikelola.
ketiga, persoalan aset yang masih carut marut bisa menjadi titik kritis lainnya yang perlu segera dicarikan penyelesaiannya segera.
Desa hari ini menempati strata yang teramat penting dalam proses pembangunan nasional. Desa tidak lagi menjadi objek, ia adalah subjek pembangunan. Desa hari ini diletakkan sebagai pusat (center). Desa diberi keleluasaan untuk merencanakan, menganggarkan, melaksanakan, melaporkan serta mempertanggungjawabkan sendiri pembangunannya. Ada kewenangan lebih kepada pemerintah desa untuk membangun sesuai kebutuhan lokal. Ditambah ada “kue” ekonomi lebih yang mengguyur desa melalui kucuran bantuan,baik bantuan dari pusat maupun propinsi / Bangub.
Pasal 1 angka 8 UU No. 6 Tahun 2014 mendefinisikan pembangunan desa sebagai upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa. Pada Pasal 78 ayat 1 memberikan penegasan bahwa Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui penyediaan pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Salah satu aspek yang paling menyita perhatian adalah adanya Dana Desa. Dana Desa sebagaimana dijelaskan panjang lebar dalam PP No. 60 tahun 2014 jo. PP No. 22 tahun 2015 merupakan dana yang bersumber dari APBN yang khusus diperuntukkan untuk pembangunan didesa. Mekanisme Dana Desa ini menjadi salah satu pembeda ketika memaknai perubahan orientasi pembangunan yang menempatkan Desa sebagai poros pembangunan, Jumlahnya tidak main-main. Pusat mengalokasikan total Rp 71 triliun Dana Desa untuk tahun 2024, yang dialokasikan ke 75.265 desa di seluruh Indonesia. Rata-rata, setiap desa menerima sekitar Rp 943,7 juta.
Angka ini mencerminkan peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya.
Penyaluran Dana tersebut disalurkan melalui berbagai program, termasuk BLT Desa dan program non-BLT Desa.
Prioritas Penggunaan
Dana Desa digunakan untuk berbagai sektor prioritas, seperti perlindungan sosial (BLT Desa), ketahanan pangan.
Rincian Alokasi:
Rincian Dana Desa setiap desa dihitung oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan berdasarkan Alokasi Dasar, Alokasi Afirmasi, Alokasi Kinerja, dan Alokasi Formula.
Pemanfaatan Dana Desa diharapkan dapat digunakan untuk membangun infrastruktur desa, menyediakan layanan kesehatan, dan mendorong ekonomi lokal.
Tambahan luncuran Dana Desa ini menghadirkan paradigma baru dalam pengelolaan keuangan di desa. Tujuan mulia menjadikan desa lebih berdaya harus diikuti dengan tambahan tanggung jawab kepada segenap penyelenggara pemerintahan di desa dalam mengelola keuangannya. Pengelolaan keuangan desa tidak bisa dipandang sebagai sebuah proses yang tidak berisiko. Di dalam sebuah Warta Pengawasan BPKP disebutkan bahwa kita harus berpikir ulang untuk main-main dalam pengelolaan keuangan desa. Undang-Undang yang ada telah mengatur bahwa mekanisme pengelolaan keuangan desa saat ini mirip dengan mekanisme pengelolaaaan APBD Provinsi/ kabupaten/kota. Demikian juga termasuk dengan perihal manajemen aset. Pengelolaan APBD provinsi/kota/kabupaten yang didukung dengan SDM yang lebih baik dan berpengalaman saja masih sering terjadi penyimpangan. Pertanyaan berikutnya, bagaimana dengan kondisi di desa?.
BPKP mengelompokkan kemungkinan permasalahan atau risiko dalam pengelolaan keuangan desa diantaranya
1. Program dan Kegiatan pada RPJMDes, RKPDes, dan APBDes tidak sesuai aspirasi/kebutuhan masyarakat desa;
2. Kegagalan menyelenggarakan Siklus Pengelolaan Keuangan Desa yang sehat
3. Kegagalan atau keterlambatan penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Desa, termasuk Laporan Pertanggungjawaban Realisasi Pelaksanaan APBDes
4. Pengelolaan Aset Desa yang tidak efisien dan efektif.
Sedangkan beberapa risiko kecurangan (fraud) yang dapat terjadi dalam pengelolan keuangan desa, antara lain
1 Penggunaan Kas Desa secara tidak sah (Theft of Cash on Hand); 2.Mark up dan atau Kick Back pada Pengadaan Barang/Jasa
3. Penggunaan Aset Desa untuk kepentingan pribadi Aparat Desa secara tidak Sah (misuse atau larceny)
Aset desa, berupa sarana kantor, tanah desa, peralatan kantor ataupun kendaraan kantor
4. Pungutan Liar (illegal Gratuities) Layanan Desa.
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa menempatkan kepala desa dalam posisi sentral dalam kedudukannya yang dekat dengan masyarakat sekaligus pemimpin masyarakat. Sedangkan dalam pengelolaan keuangan, sebagaimana tersurat dalam Permendagri No. 37 Tahun 2007, kepala desa dibantu oleh sekretaris desa yang bertindak selaku koordinator pelaksanaan pengelolaan keuangan desa dan bertanggung jawab kepada kepala desa.
Dalam konstruksi Pasal 3 Permendagri No. 113 No. 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa memang disebutkan bahwa Kepala Desa adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan desa serta mewakili Pemerintah Desa dalam kepemilikan kekayaan milik desa yang dipisahkan. Namun, mengingat beratnya tanggung jawab, Kepala Desa tidak lagi dapat bertindak seenaknya. Pelaksana Teknis Pengelola Keuangan Desa (PTPKD) yang terdiri dari Sekdes, Kepala Seksi dan Bendahara merupakan struktur yang dibentuk aturan perundangan untuk membantu Kepala Desa. Sayangnya, di sebagian besar desa, fungsi ini belum berjalan sebagaimana mestinya. Banyak Kepala Desa yang masih one man show. Segala aspek pengelolaan keuangan, mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban tidak melibatkan seluruh fungsi yang dikehendaki aturan. Kas desa dipegang, dicatat dan dilaporkan sendiri oleh kepala desa menjadi berita jamak yang masih sering didengar. Akibatnya fungsi pengendalian internal tidak berjalan. Modus korupsi di tingkat desa, beberapa hal yang memotivasi Kepala Desa melakukan korupsi diantaranya pertama, kepala desa sering terkondisikan menjadi ujung tombak segala urusan di desa mulai dari bayi lahir hingga warganya yang meninggal, bahkan setiap acara yang dihelat warga maka kepala desa menurut “kebiasaan” harus memberikan sumbangan. Kedua,kepala desa terpilih berdasarkan sisi elektabilitas bagus namun sisi modalitas ekonomi sangat lemah sehingga terdorong untuk melakukan tindak pidana korupsi. Ketiga, posisi kepala desa menjadi pundi-pundi partai politik di akar rumput. Di tingkat desa pun partai politik menancapkan akar politiknya dengan menempatkan kadernya sebagai kepala desa. Keempat, kurangnya pengawasan dan keterbukaan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Hal ini karena masyarakat desa biasanya lebih perhatian dan memilih melakukan aktivitas keseharian mereka seperti bertani, berdagang, dan melaut urusan pemerintahan, penganggaran dianggap merupakan pekerjaan orang-orang pintar, atau tokoh desa saja.
Perlu adanya “kampanye” terus menerus kepada seluruh pihak terkait yang ada di desa untuk memahami dan menjalankan fungsinya masing-masing. Bendahara Desa memegang dan melaporkan keuangan, Sekretaris Desa menjalankan fungsi kesekretariatan dan otorisasi pelaporan, kepala seksi dan segenap aparatur desa menjalankan kegiatan pembangunan dan kepala desa bertanggung jawab sepenuhnya seluruh proses. Pada proses ini, BPD (Badan Permusyawaratan Desa) yang menjalankan fungsi legislatif di desa juga penting untuk menggunakan taringnya menciptakan check and balances fungsi eksekutif Kepala Desa.Unsut pemerintahan di daerah, mulai Dinas pemerintahan desa, Inspektorat dan kecamatan perlu terus bersinergi mengawal perubahan paradigma pengelolaan desa ini pada semua pemangku kepentingan di desa.
Catatan kedua yang menyeruak adalah masih lemahnya kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki oleh perangkat Desa. Pelaksanaan pembangunan di desa dengan anggaran yang semakin besar mempersyaratkan kecakapan kompetensi SDM yang memadai. Berdasarkan pengakuan para sekdes, aparatur desa yang mumpuni untuk diajak “berlari” mengikuti perubahan aturan masih minim sekali. Tak jarang, Sekdes (apalagi yang sudah PNS dan berijazah sarjana) harus menjalankan beberapa peran sekaligus, mulai kecakapan ilmu hukum (menyiapkan Raperdes, Raperkades), ilmu teknik sipil (menyiapkan Rincian Anggaran Biaya kegiatan), ilmu pemerintahan (administrasi dan surat menyurat birokrasi) hingga akuntansi (pencatatan dan pelaporan keuangan). Permendesa PDTT No. 3 tahun 2015 tentang Pendampingan Desa, sebenarnya memberikan ruang adanya fungsi asistensi, pengorganisasian, pengarahan dan fasilitasi desa oleh tenaga pendamping profesional. Namun, keberadaan tenaga pendamping ini, sebagaimana diungkapkan oleh para Sekdes, masih belum optimal perannya sesuai yang diharapkan.
Peningkatan kapasitas SDM ini vital pula artinya untuk akselerasi pembangunan di desa - Desa. Dalam jangka panjang, desa diharapkan lebih mampu mandiri dalam kapasitas keuangannya. Ikhtiar optimalisasi potensi desa untuk menambah Pendapatan Asli Desa (PADesa) diharapkan muncul dari kreativitas pengelola pemerintahan desa. Salah satu yang didorong keras adalah pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Kementerian Desa PDTT bahkan sampai merilis Permendesa PDTT No.4 tahun 2015 tentang BUMDes ini untuk menekankan pentingnya BUMDes ini dibentuk dan dioptimalkan keberadaannya.
Catatan ketiga berkenaan dengan persoalan aset. Desa diamanahi oleh pasal 116 UU No. 6 tahun 2014 untuk melakukan inventarisasi aset.Tujuan inventarisasi aset desa baik yang diperoleh melalui dana desa ataupun hibah bertujuan agar tidak mengakibatkan konflik kepemilikan di kemudian hari. Inventarisasi ini sekaligus berfungsi untuk menjadi alat pencegahan dari segala kemungkinan adanya gugatan dari ahli waris atas hibah aset di kemudian hari kepada Desa.
Permasalahan agraria berkenaan dengan status kepemilikan aset berupa tanah desa sangat bervariasi kasus-kasusnya sehingga mendesak perlu ada koordinasi dan harmonisasi penyelesaian diantara Pemerintah Desa, Pemda, dan BPN agar aturannya jelas dan terselesaikan serta memudahkan desa melakukan pendataan dan pencatatan inventarisasi aset milik desa dengan lengkap dan sah dengan penilaian sesuai dengan aturan yang ada.
Pelbagai permasalahan yang masih menyeruak seputar pengelolaan keuangan desa di atas merupakan pekerjaan rumah bersama yang mesti dicarikan jalan keluar. Beberapa titik kritis di atas seyogyanya menjadi pekerjaan rumah bersama yang perlu dirumuskan solusinya pada tahapan awal implementasi otonomi desa dalam aspek pengelolaan keuangan ini. Penting dicatat, apa yang coba dituliskan ini masih di berkisar pada aspek pengelolaan keuangan, salah satu bagian saja dari semangat paradigma baru pembangunan di desa. Aspek pelibatan masyarakat desa seutuhnya dalam proses pembangunan adalah tahapan berikutnya yang harus digarap. Kepentingan dan kebutuhan setiap desa adalah sangat khas. Variasinya begitu beragam antar desa. Masyarakat penghuni desa itulah yang mengerti dan memahami prioritas kebutuhannya. Ketika seluruh unsur masyarakat berada pada frekuensi yang sama dalam memaknai paradigma baru pembangunan desa, maka seluruh sistem pengelolaan akan se nafas.
Pemberdayaan masyarakat harus terus digelorakan. Pengejawantahan persoalan tiap desa ke dalam prioritas perencanaan dan penganggaran pembangunan memerlukan sinergisitas setiap unsur masyarakat di desa, termasuk aspek pengawasan pelaksanaannya. Optimisme harus terus dibangun. Waktu masih panjang untuk merealisasikannya. Segenap persoalan yang masih mengungkung tidak boleh menjadi alasan mundur ke belakang. Seluruh pihak, termasuk media, penting menempatkan isu tentang pengeloloaan (keuangan) desa ini sebagai topik penting. Muara akhirnya jelas: Desa harus lebih berdaya, sejahtera dan maju secara berkelanjutan. Pelimpahan wewenang dan penambahan tanggung jawab yang dikelola desa perlu diarahkan bagi pencapaian tujuan-tujuan mulia tersebut,
Lutfi Yahya JWI